Sore itu terlihat tak ada perbedaan dengan sore-sore sebelumnya. Soreku memang selalu diisi suara anak-anak umur 7 tahunan. Tawa dan tangis mereka selalu kulihat. Meski tak sedikit dari mereka yang serius saat mendengarkan sedikit penjelasan dariku. Aku hanya membagi pengetahuan tetntang agamaku ini kepada anak-anak itu. Ya, bisa dikatakan aku adalah seorang mahasiswa yang bekerja sampingan sebagai guru ngaji di sebuah surau kecil dekat kampus. Aku pikeir itu bisa membantu perekonomian pamanku yang tergolong menengah kebawah. Sejak kecil aku memang hidup bersama pamanku.
Usai bercengkrama dengan anak-anak sore itu, aku bergegas mengayuh sepedaku kearah masjid kampus. Ada salah seorang temanku yang ingin bertemu denganku, namun karena tak ada jalan besar terdekat yang muat untuk tempat mobilnya parker, jai kami putuskan untuk bertemu di serambi masjid kampus.
Dari jauh kulihat mobilnya sudah terparkir di bawah pohon ketapang.
“Assalamu`alaikum” sapaku.
“Waalaikumsalam da” sahutnya diikuti senyum indahnya.
Oh ya, namaku Mahda Alawiyah, seorang mahasiswa fakultas sos-pol semester 5. Itu tadi adalah temanku Nur Witantri, teman-teman kelasku memanggilnya Tantri. Dia seorang aktifis kampus. Keberaniannya mengunkapkan pikiran menyebabkan ia dijuluki sebagai sang Pejuang kampus.
Memang beberapa kali masalh hinggap ke kampus kami, mulai dari ulah mahasiswa yang lagi magang sebagai kritikus pemerintah, masalah administrasi ujian yang kurang transparan sampai pelengseran beberapa dekan akibat nepotisme dan masih banyak lainnya. Aku rasa itu maslah biasa yang datang kesetiap kampus negeri ini.
Sore ini, aku dan Tantri ingin membahas salah satu masalah yang sedang melanda kampus kami. Aku memang cuku akrab dengan Tantri, terkadang aku juga mengikuti kegiatannya, berdemo kesana-kemari. Entah itu didalam kampus maupun diluar kampus. Tapi tenang, selama ini aku melihat demo yang dilakukannya masih dalam garis kewajaran, nilai positifnya lumayan banyak.
“Da, menurut kamu gimana kita menyikapi kelakuan dosen yang satu itu?” tanya Tantri.
“Oh, masalah jarang sekali masuk kelas?”tambahku.
“Ya nggak hanya itu, tapi juga sikapnya yang semena-mena?” kata Tantri yang wajahnya kini terliaht mulai emosi.
“Sabar dulu Tan, sebelum membahas itu. Ada hal yang mengganggu pikiranku akhir-akhir ini” terangku.
“Kalau begitu ceritakan saja” jawabnya sambil mengeluarkan laptop dari tasnya.
Kutarik nafas dalam-dalam “Hmm, selama aku ikut demo kesana-kemari rasanya kok agak ragu ya?” aku takut menyinggung perasaan Tantri.
Sontak dia menyahut”Ragu? Kenapa?”
“Posisiku di kampus ini jadi serba salah tan, apalagi besok kalau aku ikut demo ini. Kamu tahu sendiri aku kuliah pake bantuan beasiswa dari departemen pemerintah yang dibawahi sama pak Rehat, dosen kita yang satu itu?” jelasku.
“Maksudmua?” tanyanya.
“Ya, masa iya sih aku juga yang membuka aibnya?”kataku dengan penuh keraguan.
“Da, ingetnya. Tujuan awal kita berdemo hanya mengemukakan pikiran pihak-pihak yang dirugikan, toh masalah beasiswa itu kan dari derpartemennya bukan?”jelasnya sambil menepuk pundakku.
“Basmallah” kata Tantri lirih.
Tiba-tiba aku teringat perkataan seorang ustadz yang mengisi pengajian ta’lim kampus minggu lalu. Semua perbuatan tujuan baik apabila diawali ucapan basmallah, maka Alloh SWT akan meridhoi dirinya.
Terbesit sedikit kemantapan hati walau keraguan ini juga tak bisa sepenuhnya lepas.
Menjelang adzan magrib ketiak aku mengayuh kembali sepeda pemberian paman itu, hujan rintik-rintik mulai turun. Tapi otakku masih berputar memikirkan apa yang aku dan Tantri bicarakan. Demo berskala besar akan segera diluncurkan meski di wilayah kampusku saja.
“Mahda!” terdengar suara seorang bapak paruh baya, kepalanya dilengkapi peci dan paying hitam melindungi kepala dari tetesan air hujan. Beliau memanggil namaku, segera kutarik rem sepedaku.
“Ada apa pak?”aku menoleh kearahnya.
“Kok baru pulang nduk?”tanyanya.
“Iya pak, tadi Mahda mampir ke masjid kampus ketemu Tantri”jawabku.
“Wah, pasti mau ada demo lagi ya?”tebaknya sambil sedikit melebarkan bibirnya. Aku membalasnya senyum. Beliau akrab sekali denganku jadi beliau tahu semua tentangku termasuk berdemo itu.
“Ya sudah, segeralah pulang! Itu mukena musola sudah siap dicuci nduk!”katanya meninggalkanku.
“Sip pak!”kukayuh kembali sepedaku kearah rumah bercat kuning yang telah pudar dimakan usia.
Itu tadi pamanku, beliau adik ibuku. Menjelang magrib paman selalu pergi ke musola bertugas sebagai seorang muadzin. Tentang mukena-mukena yang harus aku cuci tadi, itu juga merupakan pekerjaan sampinganku. Lagi-lagi alasannya untuk membantu paman. Aku mendapat 5.000 rupiah untuk setiap 10 potong mukena yang aku cuci. Lumaya bukan? Itu cukup untuk sekedar fotocopy modul mata kuliah.
Usai kuselesaikan semua tugasku, malam itu aku kembali merenung. Apa yang harus aku lakukan esok kedepan? Apakah akan tetap mengisi hari dengan berdemo kesana-kemari atau malah jadi mahasiswa biasa?
Memang, pamanku tak pernah melarangku hal ini namun tetap saja aku merasa ada keraguan. Keraguan ini kian hari semakin bertambah besar. Aku tak ingin beasiswaku dicabut! Hey itu akan lebih merepotkan pamanku. Aku tak mau itu terjadi. Disisi lain, banyak teman-teman mahasiswa yang dirugikan. Apalagi ada diantaranya yang nilainya tak keluar akibat sikap dosen yang satu itu. Bagaimana ini ya Alloh?
Seminggu berlalu aku tak pernah sekalipun mengikuti rapat pra demonstrasi. 7 Februari 2011 demo sengaja dilaksanakan tanggal itu mengingat hanya pada tanggal 7 lah Pak Rehat menjamah ruangannya di kampus kami. Selain tanggal itu beliau dijamin absen, sibuk dengan urusannya sebagai menteri pendidikan. Jabatanya dala pemerintahan memang patut dibanggakan. Parahnya, pada hari itu juga aku belum mendapatkan keputusan yang matang untuk tetap atau beralih dari sebelumnya.
Pagi itu aku sengaja tak membawa sepedaku ke kampus. Aku takut sepdaku menjadi korban demo teman-temanku sendiri. Walaupun demo kali ini dilakukan secara intern tapi pesertanya tetep tidak bisa dihitung dengan jari. Aku mengerti bagaimana perasaan mereka. Jarum jam menunjukan pukul 06.30 pagi, seluruh sudut kampus telah dijaga oleh aparat kepolisian. Semuanya terlihat sangat siap dengan tugasnya masing-masing.
Diantara banyak orang sepertinya ada yang mengawasi gerak-gerikku. Seorang pria bertubuh besar dan kekar mengawasi langkahku. Kuambil jurus tengok 360 derajat ke segala arah. “Ah…nggak ada apa-apa”bibirku bergunggam.
“Mahda Alawiyah!”suara itu mengagetkanku. Siapa dia?Diakah yang mengawasiku?
Semuanya terjawab ketika ku tolehkan kepalaku ke arah sumber suara.
“Tantri”balasku lega
“Kamu kenapa? mukamu tegang banget”tanyanya
“Ah…nggak papa”jawabku
Pembicaraan kami berlanjut sampai diruang dimana orang-orang siap mengeluarkan unek-uneknya. Aku tersadar bahwa itu tempat para demonstran berkumpul sebelum merka beraksi.Saat itu pikiranku masih tertuju pada orang yang mengawasiku tadi. Siapa dia?Mengapa mengawasiku?
“Da, gimana?ikut?”suara Tantri memecahkan pikiranku.
“Hah?hal ini?”tanyaku sambil melihat kearah kerumunan ribuan demonstran.
Tantri menganggukan kepalanya.
Darah terasa mengalir begitu deras “Ya, aku ikut!” perkataan itu terlontar tiba-tiba. Entah mengapa keraguan itu hilang. Aku meras siap menjadi bagian dari mereka, teman-teman mahasiswa lain. “Aku bukan orang egois, aku harus peduli terhadap sesama mahasiswa” suara hatiku terdengar begitu kuat. Mungkin itu semua jawaban doaku kepada Alloh SWT yang selalu aku selipkan dalam solat malamku seminggu ini.
Begitu kulangkahkan kakiku meninggalkan ruanga itu, sepasang bola mata diantara beribu-ribu pasang bola mata terasa sangat aneh. Tapi ditubuh siapa bola mata itu melekat? Ah sudahlah jangan pikirkan hal itu Mahda,ingat tujuan awal.
“Bismillahirohmanirrohim”bibirku mulai bergetar.
Beberapa menit demo berjalan baik, hanya terdengar teriakan-teriakan ribuan mahasiswa mengeluarkan keluhannya. Kerumunan terlihat begitu semrawut. Sama seperti aksi demo di layar televisi namun sejauh ini tak ada aksi mahasiswa diluar batas. Semuanya masih terkontrol meski terik matahari ikut serta meramaikan demo.
Namun karena tanda-tanda kedatangan Sang Dosen tak kunjung ada, kini para demonstran mulai geram. Bahkan tak sedikit dari mereka yang jatuh pingsin diantara teriakan suara “Turunkan Rehat!!! Turunkan Rehat”. Nampaknya pemandangan itu sudah tak asing bagiku. Demo berjalan tak jauh beda dengan demo-demo yang sudah aku ikuti selama ini.
Namun pemandangan justru tampak berbeda dari wajah temanku , pemimpin demonstrasi, Nur Witantri. Ia terlihat pucat pasi, badannya tidak fit tak heranlah selama 1 minggu ini disibukkan persiapan demonstrasi ini. Tiba-tiba volume suara demonstran bertambah tinggi, itu menandakan kedatangan Pak Rehat.
Seperti biasa harus ada salah satu perwakilan dari pihak demonstran yang menghadap langsung pihak yang didemo, biasanya dilakukan oleh pemimpin demo. Kali ini tak bisa lagi seperti biasa, Tantri jatuh pingsan! Lalu siapa yang akan menggantikan posisinya. Sudah kucoba datangi semua teman-temanku membujuk untuk menggantikan posisi Tantri. Hasilnya alpha! Kalau begini terus masalah tidak akan terselesaikan sedikitpun, malah bertambah runyam. Pikiranku bertambah berantakan diantara teriakan yang ada. Semuanya terasa begitu mendesak.
Mau tak mau aku harus maju, tak ada orang lain. Disisi lain sepertinya ada yang mendorongku. Siapa?orang bermata aneh itukah? Aku tak tahu.
Aku memasuki ruangan dan dikawal oleh 2 orang polisi muda yang bertubuh kekar. Detak jantungku serasa berhenti ketika sadar bahwa pemilik wajah yang ada didepanku saat ini adalah Pak Rehat. Kulihat kanan tubuhku, ada sepasang mata yang sama anehnya dengan yang aku rasakan saat berangkat kuliah tadi.
“Dia yang mengawalku ke ruangan ini, Subhanalloh! Dia disampingku” tatapannya begitu tajam, alis matanya tebal melengkung seperti gambar gunung buatan anak-anak yang aku ajar ngaji di surau dekat rumah, lancip. Mungkin hal itu yang membuat tatapannya terlihat aneh.
“Saudari Mahda Alalwiyah!” namaku keluar dari mulut Pak Rehat.
“Ya”sahutku. Hatiku bertanya-tanya mengapa beliau tahu namaku.
“Tenang, saya tahu anda. Bukankah anda salah satu mahasiswa penerima beasiswa?”Tanya beliau dan diikuti senyum sangarnya.
Wah hal terburuk segera terjadi padaku, Pak Rehat paham tentang aku. Detik ini juga beasiswaku akan dicabut?
“Paman,maaf aku merepotkanmu lagi”kataku lirih.
Setelah menarik nafas dalam-dalam bibirku mulai mencoba menjelaskan pokok permasalahan. Aku tak ingin berlama-lama duduk dibangku panas ini. Apalagi di ruangan itu tak hanya polisi dan Pak Rehat tetapi juga beberapa staff kementrian. Ini tak seperti biasanya staff kementrian negara mendatangi kampus kami. Ini aneh, sesering mungkin tanpa sadar aku selalu menyebut namamu Ya Alloh.
“Begini pak, kami mengeluhkan kinerja bapak sebagai didosen kami”jelasku. Beliau hanya menganggukan kepala.
“Sikap bapak yang jarang sekali masuk kelas dan saya amati pernah tak menjamah kampus ini dalam waktu 1 bulan” bibirku mulai bergetar lagi.
“Adakah masalah lain yang lebih besar?”kata itu terucap
Aku tak habis pikir, masalah ini dianggap masalah kecil? Aku mulai terbawa emosi mahasiswa lain yang berada diluar ruangan, teriakan mereka terdengar sampai ke telingaku.
“Pak, sadarkah bapak apa yang telah bapak lakukan terhadap mahasiswa kmpus kami? Nilai beberapa teman kami tak muncul padahal mereka selalu mengerjakan semua tugas dan mengikuti setiap ujian yang bapak berikan kepada kami meski kami tahu bapak tidak berada di kampus kami, entah kemana saya tidak tahu. Sekarang apakah adil bagi mereka?” nada yang kugunakan mulai meninggi.
“Tentu tidak anak muda, lalu bagaimana dengan nilai-nilaimu?tak muncul juga?”ucapnya.
“Sudah saya duga itu jawaban dari seorang dosen sekaligus menteri yang seharusnya mempunyai tingkat kepedulian yang lebih dibandingkan dengan rakyat jelata seperti saya” kataku.
Aku sadar kata-kata yang baru saja keluar dari mulutku akan membawa cambuk hidupku. Kulihat kearah polisi pengawal aneh itu, sepertinya dia heran melihat sikapku yang muali terbawa emosi. Kembali kutarik nafas sedalam mungkin.
“Sejauh ini nilai saya masih normal”jawabku.
“Lalu mengapa anda melakukan demo kali ini?Bukankah saudara sendiri tidak dirugikan?”tanya beliau.
“Di kampus ini, kami tidak hanya diajarkan bagaimana cara mendapat nilai tetapi kami juga diajarkan bagaimana peduli terhadap orang lain”jawabku.
“Rupanya anda mahasiswa yang pandai bicara ya?”Tanya pak Rehat yang suaranya mulai meninggi.
Pembicaraan kami semapt terhenti sejenak. Beberapa menit kemudian suasana hening terpecahkan oleh suara dehem dari polisi aneh itu. Aku tak tahu mengapa dia melakukannya. Kali ini aku benar-benar kehabisan kata. Sedikit kutundukan kepala kearah lantai.
“Nampaknya, anda harus mengetahui hal ini. Baik dengarkan saya. Saya rasa anda telah mengerti tugas menteri itu bagaimana, tentu tidak mudah bukan?”ucapnya.
Saat itu aku tak mengeluarkan respon sedikitpun. Yang aku sadari keringat dinginku mulai mengalir didahiku. Tangan dan kakiku terasa membeku. Ya Alloh, kuatkan hambamu ini.
Pak Rehat kembali melanjutkan perkataannya ”Diantara sekian banyak tugas menteri pendidikan yang harus saya lakukan adalah memilih duta pendidikan.”
“Maaf Pak, meskipun tugas menteri sangat banyak bukan berarti bapak meninggalkan tanggung jawab sebagi dosen di kampus kami. Saya tahu banyak urusan kesana-kemari tapi saya mohon jangan rugikan teman-teman mahasiswa kami sampai separah ini. Seharusnya bapak memberi contoh kepada kami bagaimana cara menempatkan diri dengan baik” jelasku.
Tiba-tiba Pak Rehat memotong perkataanku” Cukup, penjelasan saya belum selesai, kenapa anda potong?”
Aku sadar aku salah, karena dasarnya aku adalah manusia “Bapak juga memotong perkataan saya. Tanpa mengurangi rasa hormat, tolong bapak bertanggung jawab terhadap semua tugas yang diberikan kepada bapak. Toh, bapak sendiri yang memilih menjadi seorang dosen dan seorang menteri. Tidak ada paksaan dari orang lain, bukan?Konsistensi bapak saat ini sangatlah dibutuhkan” aku terhenti bicara ketika wajah pak Rehat mulai berbeda ekspresi. Mungkin beliau jijik melihat tingkah dan perkataanku. Lagipula bibirku sudah kering, tak tersedia minuman disitu.
“Cukup?” tanya beliau dengan halus. Aku merasa beliau orang yang sabar bisa menyikapiku dengan halus.
“Ya, terima kasih” jawabku sambil menelan ludah.
“Sekarang saya minta saudara tidak membuka mulut sebelum saya selesai bicara” kata-kata itu menyadarkan kepribadianku yang ternyata banyak bicara.
“Dalam 3 bulan ini, saya mempunyai misi mengangkat seorang duta pendidikan dan saya tidak ingin memilih sembarang orang seperti yang sudah-sudah” jelasnya.
“Lalu apa hubungannya?”aku hampir saja membuka mulut lagi, untungnya aku teringat tak boleh membuka mulut sebelum beliau selesai berbicara.
“Jadi begini, saya melakukan semua ini untuk menetukan siapa yang pantas menduduki jabatan sebagai duta pendidikan. Dan kini saya sudah menemukannnya” jelasnya dengan nada yang mulai merendah menandakan penjelasannya telah selesai.
“Kalau begitu kami mohon maaf” betapa malunya aku. Ini pertama kali aku sebagai wakil demonstran dan sikapku ini salah. Rasanya sungguh tak enak. Alloh ini apa??
“Ini hanya salah paham, mohon kemaklumannya Pak. Tetepi haruskah dengan cara seperti ini? Tanyaku.
“Ya, saya rasa itu paling rasional dan akurat” jelasnya sambil membetulkan kacamata silindrisnya.
“Baik pak, saya rasa cukup penjelasan dari bapak. Setelah ini saya akan menjelaskan permasalahan sebenranya. Terima kasih pak, Assalamualaikum” aku berkata sambil sedikit berlari keci-kecil meninggalkan ruangan itu. Aku takut pembicaraan kami berlanjut hingga ke masalah beasiswaku. Bagiku ruangan itu bagai ruang peradilan antara masuk neraka atau surga.
Saat meninggalkan ruangan itu, kusempatkan melihat kearah polisi itu. Terselip senyum untukku. Senyumnya sangat menyejukan hati. “Astarghfirulloh”kataku lirih.
Sampai kulangkahkan kaki menuju tempat teman-teman demonstran menungguku, pikiranku masih tertinggal di ruangan tadi. Seyum itu pun masih tertinggal dalam benakku. Siapa dia? Bermata aneh tapi senyumnya sering aku lihat. Apa mungkin dia seorang model iklan pasta gigi?Mengapa terasa begitu dekat? Ya Alloh, ampunilah dosaku mengagumi dirinya. Lindungilah hamba agar bisa menjaga rasa ini tidak melebihi rasaku pada-Mu.
***
Setelah 1 minggu aku menjalani aktifitas seperti biasa sebagai mahasiswa, sebagai guru ngaji dan sebagai buruh cuci mukena musola. Tak ada hal lain yang terjadi setelah demo kemarin. Semua masalah telah usai. Pak Rehat akan segera memproses nilai teman-temanku. Beliau kembali aktif sebagai dosen.
***
Siang itu pukul 11.20, aku dipanggil menghadap Pak Rehat. Huaaaaaaaaaaaa….akankah beasiswaku dicabut detik ini? Lenyapkah beasiswaku?
Setelah keluar dari ruangannya , kusujudkan badanku. Subhanalloh, semuanya tak terduga. Aku segera punya katifitas baru. Duta Pendidikan RI? Ini benar-benar mukjizatmu, ya Alloh. Pak Rehat sengaja melakukan apa yang menyebabkan beliau didemo oleh mahasiswanya sendiri. Itu semua merupakan tes kepedulian. Dan ternyata tak ada pencabutan beasiswa. Betapa leganya diriku.
Pagi hari kuliah, siang berkunjung ke acara olimpiade nasional Fisika di Makasar, sore harinya aku tetap menularkan ilmu agamaku kepada anak-anak kecil itu, petang kucuci mukena-mukena musola. Kali ini aku tak perlu lagi memompa air untuk setiap mencuci mukena. Ada air kran dan mesin cuci hasil kinerjaku sebagai Duta Pendidikan. Sungguh segala puji bagiMu ya Alloh. Tak henti-hentinya hamba panjatkan rasa syukur atas segala nikmat yang tak terhitung banyaknya. “Srrrrrrrrrrrrrrrr” terlintas dibenakku tetntng plisi muda itu. Aku hanya bisa mengaguminya. Aku sadar tak akan pernah mengungkapkan kepadanya. Selain kemungkinan kami bertemu sangatlah kecil juga karena aku sudah terbiasa dengan sikap seperti ini. Agamaku menajarkanku begitu. Cukup disimpan didalam hati saja, lagipula kalau jodoh tak aka nada yang bisa menghalangi. Amin. ^^ by Allivna